:: Welcome to Samson Blog :: :: Welcome to Samson Blog :: :: Welcome to Samson Blog ::

Friday, December 11, 2009

dongeng Batak

Si Boru Natumandi
April 14, 2009 — riyanthi
Dahulu kala sewaktu penduduk yang mendiami Rura (Lembah) Silindung masih memeluk kepercayaan Sipelebegu, hiduplah seorang Raja yang kaya, besar dan bersahaja. Mereka hidup dengan damai di sebuah huta di tepi sungai Aek Situmandi yang bersih dan jernih. Tempat tinggal raja itu berada di seberang Huta Siparini sekarang. Huta Siparini terletak di kaki Dolok (Gunung) Siatas Barita. Dolok Siatas Barita adalah tempat “Pamelean” keturunan Guru Mangaloksa sewaktu belum masuk agama Kristen ke Rura Silindung.

Walaupun Dolok Martimbang lebih tinggi dari Dolok Siatas Barita, itu tidak masalah bagi mereka karena guru Mangaloksa pertama sekali mendirikan huta di kaki Dolok Siatas Barita. Dari sanalah awalnya guru Mangaloksa bersama keturunannya mendiami seluruh Rura Silindung. Oleh karena itu, Dolok Siatas Barita merupakan tempat “Dolok Parsaktian” bagi keturunan Guru Mangaloksa sekaligus menjadi tempat Pamelean zaman dahulu.
Terkabarlah Raja ini karena kekayaannya, kebesaran dan kebersahajaannya. Semua tanaman-tanaman diladang maupun disawah berlimpah ruah, bahkan tempat penyimpanan yakni “Sopo” tidak bisa lagi menampungnya. Begitu juga dengan ternaknya ( kerbau dan babi ) berlimpah. Sang Raja tinggal di “Rumah Batak” Tetapi lebih terkenal lagi raja ini karena kecantikan putrinya yang bernama Si Boru Natumandi .



Banyak anak-anak raja yang ingin menjadikan siboru Natumandi menjadi istrinya. Kabar mengenai kecantikan siboru Natumandi sudah tersebar ke “Desa Naualu”. Keindahan tubuh yang semampai, keindahan matanya yang teduh, senyum dan tertawanya yang membuat hati damai, kecantikan wajahnya yang mempesona, rambutnya bagaikan mayang terurai sampai ketumitnya, cara bicaranya yang lemah lembut dan sopan, perilakunya membanggakan orang tua dalam bermasyarakat, dan cara berpakaiannya juga sangat sopan. Tidak ada seorangpun yang melebihi karisma yang dimilikinya bahkan diantara kawan-kawan putri-putri raja yang seumuran denganya di Desa Naualu. Tidak hanya itu, dia pandai mengambil hati kedua orang tuanya, sangat terampil manortor (Tari-tarian suku batak) serta penenun yang handal dan rajin.

Banyak raja-raja dari toba, samosir, humbang, pos-pos, dan angkola datang kepada raja itu untk meminang raja Siboru natumandi menjadi “Parumaennya” (menantunya). Siboru natumandi sangat pandai mengambil hati orang tuanya, sehingga dia putri kesayangan ayah ibunya. Karena itu, sewaktu raja-raja datang meminang Si Boru Natumandi jadi parumaennya, raja hanya menjawab yakni : molo mangoloi borukku, sipanolopi ma ianggo hami ( kalau putriku mau menerima, kami orang tuanya merestuinya).

Mendengar jawaban raja itu, maka semua raja-raja yang mau meminang Si Boru Natumandi menyuruh anak-anaknya menjumpai Si Boru Natumandi untuk meminta agar dia mau jadi istrinya.

Sungguh lemah lembut jawaban Si Boru Natumandi pada anak-anak raja yang datang menjumpainya. Si Boru Natumandi sangat senang menyambut kedatangan anak-anak raja itu. Bahkan mereka disuguhkan dengan makanan yang lezat dan nikmat. Setelah selesai makan dia memberikan jawaban kepada raja tersebut.

Anak-anak raja yang datang tidak bisa tenang, mereka selalu penasaran, hati mereka selalu berdebar-debar, apakah saya diterima? kalimat tersebut yang selalu ada dalam pikiran mereka. Kalau tidak diterima kenapa harus repot-repot memasak, menyuguhkan makanan yang nikmat dan lezat dengan pelayanan yang memuaskan pada saya. Itulah yang menghantui pikiran anak-anak raja setip kali datang meminang. Wajahnya selalu tersenyum tidak menunjukkan ketidak sukaan pada setiap anak-anak raja yang datang. Hal tersebut juga membuat hati setiap anak-anak raja yang datang menjadi gusar dan bertanya-tanya sampai-sampai lupa pada makanan yang disuguhkan itu.

Perasaan ayah dan ibu Si Boru Natumandi ikut juga tidak tenang menunggu jawaban yang diberikan putrinya pada anak-anak raja yang datang itu. Mereka sangat berharap agar putrinya mau menerima salah satu lamaran dari anak raja yang datang itu.

Setelah selesai makan, S Boru Natumandi memberikan jawabannya kepada anak-anak raja yang datang itu dengan sopan dan lemah lembut dia mengatakan : ‘mauliate ma diharoromuna na tu ahu, alai mulak ma hamu ai ndang lomo do pe rohakku mar hamulian’. (terimakasih karena telah datang menjumpai saya, tapi pulanglah kalian, karena saya belum ingin menikah/berumah tangga).

Bagaikan ‘Porhas na manoro di siang ari’ (bagaikan petir yang menyambar di siang hari) perasaan hati anak-anak raja mendengar perkataan Si Boru Natumandi yang singkat itu. Perasaan mereka lemas tak berdaya, tak sanggup lagi menjejakkan kakinya ke atas tanah karena mendengar jawaban tersebut.

Seperti itulah jawaban yang di berikan Si Boru Natumandi kepada setiap anak-anak raja yang datang melamarnya. Sungguh lemah lembut perkataannya, pelayanannya sangat sopan dan baik. Tapi jawabannya yang singkat itu bagaikan disembelih dengan sembilu, sungguh menusuk jantung.

Biasanya setelah anak-anak raja yang datang menjumpai Si Boru Natumandi pulang, kedua orang tua Si Boru Natumandi langsung menanyakan apakah putrinya itu sudah menerima salah satu lamaran dari anak-anak raja yang datang tersebut? Tapi jawaban yang diberikan Si Boru Natumandi selalu sama yakni: ‘dang lomo do pe rohakku mar hamulian amang-inang’ (ayah-ibu saya masih belum mau menikah).

Seperti itu juga raja-raja yang menyuruh anak-anaknya datang menjumpai Si Boru Natumandi mereka selalu bertanya-tanya. Setiap anaknya pulang dari rumah Si Boru Natumandi mereka langsung menanyakan: ‘beha do amang, di jalo do hatami? Asa manigor borhat hami mangarangragi’ (“Bagaimana nak, apakah lamaranmu diterima?” Supaya kita langsung berangkat menjumpai orang tuanya). Tapi dari pancaran wajah si anak yang lesu tidak bersemangat, mereka sudah tahu bahwa anak mereka tidak di terima Si Boru Natumandi. Semua raja-raja yang menyuruh anaknya itu menjumpai Si Boru Natumandi bertanya-tanya: ‘na behado ulaning, na hurang mora do pe au, nahurang do hasangapon hu?’ (apa gerangan yang terjadi, apakah saya kurang kaya, apakah saya kurang bersahaja?) Padahal kekayaan dan kehormatan saya bahkan sangat melebihi orang tua si perempuan, kata hati setiap raja-raja yang mengirim anaknya menjumpai Si Boru Natumandi.

Siang berganti malam, hari berganti minggu, bulan berganti tahun tetapi , jawaban yang diberikan Si Boru Natumandi selalu sama kepada setiap anak-anak raja yang datang melamarnya. Ayah dan Ibunya sedih sebab terdengar berita bahwa raja-raja yang menyuruh anaknya menjumpai Si Boru Natumandi merasa dikecilkan dan mereka sakit hati. Padahal anak-anak raja tersebut tidak memiliki kekurangan bahkan bisa dikatakan sudah sempurna, wajah mereka tampan, kaya dan jug berkedudukan. Tetapi kedua orang tua Si Boru Natumandi bingung dan bertanya-tanya dalam hatinya. Apa sebenarnya yang dipikirkan Si Boru Natumandi?

Kadang-kadang hati kedua orang tua Si Boru Natumandi sedih memikirkan itu, tapi mereka tidak mau memaksakan kehendak, takut putrinya tersinggung, sedih atau menangis, mereka juga takut putrinya nanti sakit hati pada mereka. Karena Pada dasarnya marga Hutabarat sangat baik dan sayang pada anak perempuannya, bahkan sampai sekarang pun bisa kita lihat dalam kehidupan sehari- hari dan boru Hutabarat sangat baik marhula-hula.

Ada kebiasaan sehari-hari Si Boru Natumandi yakni: dia tidak suka martua aek dan mandi bersama teman-teman sebayanya di sungai. Dia suka martua aek dan mandi di siang hari. Biasanya diwaktu mandi dia marhatobung di sungai. Setiap dia marhatobung, selalu terdengar sampai ke kampung, ladang dan sawah. Bahkan orang yang bekerja di sawah dan di ladang menghentikan pekerjaanya hanya untuk mendengar hatobung Si Boru Natumanding. Entah kenapa, semua hasil pekerjaan Si Boru Natumandi lain daripada yang lain. Seperti hasil tenunannya sangat cantik dan indah lain dari tenunan putri-putri raja. Setiap orang memegang tenunannya, sepertinya ada satu kekuatan yang tidak nampak dan mampu menarik hati orang untuk membelinya. Masakannya juga enak dan selalu nikmat, apa yang dikerjakannya selalu cocok bagi orang yang melihatnya.

Banyak orang bertanya-tanya dalam hati mereka tentang kelebihan yang dimiliki Si Boru Natumandi terutama para tua-tua, dan kelebihan itu tidak membawa keburukan sehingga membuat kaum muda dan orang tua tidak melanjutkan pertanyaan yang selama ini mereka tanyakan dalam hati mereka.

Disuatu hari, ibunya mendengar Si Boru Natumandi sedang berbicara di tempat dia menenun. Ibunya mendekat dan ingin melihat siapa teman putrinya berbicara. Si Boru Natumandi sangat serius berbicara sambil mengerjakan tenunannya. Dari pembicaraan itu terdengar suara seorang pemuda yang menemani putrinya. Terkadang Si Boru Natumandi tersenyum malu, dan kadang-kadang bukan dia yang menenun tenunannya. Ibunya terkejut melihat kejadian itu, sebab di sekeliling tempat putrinya bertenun tidak ada orang yang sedang berbicara dengannya.

Dihapusnya wajah dan dadanya, lalu si ibu tersadar setelah melihat kejadian aneh yang menimpa putrinya. Dia bertanya dalam hatinya “apakah saya sedang bermimpi?” “tapi saya tidak tidur”. Dia kembali melihat putrinya itu, tetapi tetap saja sama seperti yang pertama dilihatnya itu.

Setelah beberapa hari kemudian dia memberitahukan kejadian aneh yang menimpa putrinya itu pada suaminya. “Bibir saya bukan diretak panas……?” (Apa yang saya katakan itu benar) “Saya melihatnya dengan mata kepala saya sendiri!” Ujar sang ibu kepada suaminya. Tetapi raja itu tidak menanggapi celotehan istrinya dan juga tidak menanggapi kejadian aneh yang menimpa putrinya itu dengan serius. Malah sang raja menjawab , “ah, atik tung na marnipi do ho boru ni raja nami, nabisuk marroha do borunta i, sodung disurahan pangalahona, tung heama i ?” ( “ah, mungkin dinda sedang bermimpi, putri kita kan orangnya sopan, dan dia tidak pernah berbuat hal-hal yang yang buruk) Akhirnya kedua orang tuanya tidak mempertanyakan masalah itu lagi.

Mungkin Si Boru Natumandi sudah jatuh cinta pada pemuda yang datang menjumpainya itu, sebab disuatu hari dia memberitahukan kepada kedua orang tuanya bahwa dia sudah menemukan pemuda pujaan hatinya. Orang tuanya sangat senang mendengarkan apa yang diberitahukan putrinya.

Biasanya, jika seorang putri sudah menemukan tambatan hatinya. Sudah lumrah bagi orang tuanya untuk menanyakan perihal pemuda yang menjadi tambatan hati putrinya. Bagaimana kelahirannya, bagaimana keadaan keluarganya, bagaimana kekayaannya, dan masih banyak lagi yang akan ditanyakan orang tua pada putrinya perihal pemuda yang menjadi tambatan hatinya. Supaya nantinya putrinya bahagia dan tidak terlantar, serta menantu itu nantinya bisa menjadi kawan yang dapat diandalkan di waktu terjadi hal-hal yang tidak diingainkan terlebih waktu berperang.

Si Boru Natumandi memberitahukan perihal idamannya kepada orang tuanya yakni: “na pat ni gaja tu pat ni hora, pahompu na raja jala anakni na mora do na manopot ibana” (cucu raja serta anak orang kaya yang sedang melamar dia).” Pemuda yang melamar saya adalah pemuda yang baik, berhati bersih, bertanggung jawab dan dia anak raja, kata Siboru Natumandi pada kedua orang tuanya dengan kegembiraan yang terpancar pada pada raut wajahnya. Melihat kegembiraan putrinya itu, kedua orang tuanya tahu bahwa Siboru Natumandi sudah serius menerima lamaran yang datang dari pemuda itu. Kerinduan mereka sudah terpenuhi, sehingga mereka ikut bergembira mendengar kabar tersebut dan mereka berkata: ” ba molo songoni do inang patandahon majo tu hami asa dohot hami mamereng nanaeng ga besirongkap ni tondi mi” (kalau memang seperti itu, pertemukanlah kami padanya, supaya kami dapat melihat pemuda yang menjadi teman hidupmu nanti).


Disuatu hari Siboru Natumandi mempertemukan pemuda itu kepada orang tuanya. Sungguh tampan dia, cara berpakaiannya menunjukkan dia keturunan seorang raja yang bersahaja, bentuk badannya seperti “ulubalang”. Tidak berselang beberapa lama, pemuda itu tiba- tiba menghilang bersamaan kedipan mata kedua orang tua Si Boru Natumandi . Tiba- tiba mereka melihat seekor ular keluar dari rumah mereka. “Apa yang terjadi ?” Kata ayah Si Boru Natumandi: “pasada ma roha dohot pikkiran mu amang , jala sonang ma roha muna paborhatton ahu marhamulian tu silomo ni rohakku” (satukan hati dan pikiranmu ayah, relakan hati kalian memberangkatkan saya memilih pemuda yang menjadi teman hidupku nanti). Kedua orang tuanya terdiam tidak bisa berbicara apa-apa, karena Si Boru Natumandi putri yang sangat mereka sayangi dan kasihi.

Pada suatu hari, Si Boru Natumandi memberitahukan kepada orang tuanya perihal keberangkatannya dan tentang apa saja yang akan mereka kerjakan setelah dia berangkat dari rumah nanti. Hal-hal yang akan mereka kerjakan dan yang perlu diperhatikan adalah:

1. Mereka tidak perlu membuat pesta pemberangkatan, baru setelah 7 hari kemudian baru dibuat pesta yang besar sebab “sinamot” yang akan diberikan cukup besar.

2. Seperti sinamot dari pihak laki- laki, mereka akan meninggalkannya di suatu tempat dengan jumlah 7 “ampang”. Sebelum 7 hari 7 malam ampang itu tidak bisa dibuka oleh siapapun.

3. Setelah 7 hari 7 malam ampang itu baru bisa dibuka dan didalamnya akan terisi emas, itulah yang menjadi sinamot kami.

4. Dalam waktu 7 hari itu setelah kami berangkat, kami akan mengantar “pinahan” untuk dimakan, dan pada waktu pesta itu kami akan mengantar kerbau sebagai “panjuhuti”.

5. Tempat tinggal kami nantinya sangat jauh, kalian ikuti saja “sobuan” yang saya jatuhkan mulai dari depan rumah kita. Dimana sobuan itu nantinya berakhir, sampai disitulah kalian mengikuti saya, sebab jalan yang saya lalui harus melalui sebuah gua yang ujungnya sampai ke daerah Toba dan bercabang ke daerah Penabungan.

Kedua orang tua si Boru Natumandi hanya diam mendengar semua yang dikatakan putrinya itu. Mereka hanya pasrah dan menyerahkan semuanya kepada “Mulajadi Nabolon“.

Setelah tiba waktu keberangkatan Si Boru Natumandi, lalu dia memasak makanan yang lezat mulai dari pagi hari sampai sore hari. Setelah semuanya siap mereka berdua makan bersama, kedua orang tua si Boru Natumandi melihat putrinya sedang makan bersama pemuda yang pernah mereka lihat waktu itu.

Sesudah mereka selesai makan, kemudian orang tuanya melihat mereka lagi tetapi si Boru Natumandi dan pemuda itu tidak ada lagi di tempat mereka makan. Lenyap seperti ditelan bumi, orang tuanya melihat makanan yang tersaji itu tidak berkurang sedikitpun dan sudah dingin seperti sudah lama ditinggalkan.

Pagi-pagi buta, ibu Si Boru Natumandi bangun bersama ibu-ibu lain melihat sobuan tersebut dan mengikutinya seperti yang di pesankan Si Boru Natumandi pada ibunya. Mereka mengikuti sobuan itu hingga sampai di depan mulut sebuah gua yang berada di tepi Aek Situmandi dekat aek rangat. Mereka memberanikan diri memasuki gua tersebut, tetapi karena terlalu gelap mereka memutuskan untuk tidak meneruskannya terlalu dalam lagi. Mereka pulang dan memberitahukan kejadian tersebut. Kabar itu langsung tersebar di seluruh Lembah Silindung.

Setelah matahari terbit dari atas Dolok Siatas barita, sampailah ke huta itu beberapa ekor “aili” yang besar-besar dan gemuk. Sepertinya ada yang menyuruh mereka turun dari hutan menuju Dolok Siatas Barita. Semua aili itu jinak dan tidak meronta sewaktu ditangkap dan disembelih oleh orang-orang kampung untuk digunakan pada acara pesta. Seperti itulah terus menerus aili turun dari hutan di atas Dolok Siatas Barita selama 7 hari, sampai-sampai semua orang yang datang ke acara pesta itu membawa sebagian dagingnya ke kampung masing-masing.

Mungkin sudah kemauan Tuhan Yang Maha Esa, sebab sebelum digenapi 7 hari 7 malam beberapa orang dari keluarga dekat si Boru Natumandi secara diam-diam mengintip isi ampang itu. Padahal Siboru Natumandi sudah memberitahukan bahwa ampang itu tidak bisa di buka oleh siapapun sebelum tergenapi hari yang dijanjikannya. Mereka melihat isi ampang itu hanya sobuan yang sudah mulai menggumpal seperti emas di dalamnya.

Setelah kejadian itu,ayah dan ibu Si Boru Natumandi bermimpi. Mereka didatangi putrinya dan memberitahukan bahwa sudah ada yang melihat ampang yang telah dipesannya itu. Ampang dan isinya sudah hambar sebab pesannya sudah dilanggar.

Melihat semua kejadian yang menimpa keluarga dan putrinya, maka raja tersebut mengumpulkan semua raja-raja, tua-tua kampung dan semua penduduk Hutabarat berkumpul “martonggo” ke Mulajadi Na Bolon “Tung naso jadi ma Boru Hutabarat nauli molo marhasohotan tu “Ulok” (Tidak akan pernah ada lagi boru Hutabarat yang cantik rupawan kalau jadinya kawin sama ular).

Disini kami menegaskan bahwa asumsi masyarakat selama ini tentang si Boru Natumandi (semua boru Hutabarat saat ini) yang sombong adalah salah, dimana menurut cerita selama ini bahwa secantik apapun boru Hutabarat pasti ada cacatnya. Banyak marga Hutabarat membeberkan hal tersebut, tetapi perlu digaris bawahi itu terjadi bukan karena kesombongan namun karena sumpah leluhurnya tersebut.

Namun semua itu dikembalikan kepada penilaian kita masing-masing, kalau kita tinjau dari segi agama mungkin sangat bertolak belakang. Agama pada dasarnya membenarkan suatu kejadian yang benar-benar terjadi bukan rekaan. Kita bisa membacanya dari kitab yang kita yakini sesuai dengan agama yang kita anut. Tetapi walaupun demikian kita tidak bisa menyalahkan budaya Batak terutama pada zaman dahulu. Zaman dahulu masyarakat Silindung masih mempercayai legenda atau cerita rakyat yang bersifat anonim bukan hanya cerita “Si Boru Natumandi”, masih ada legenda lainnya yang dipercayai orang Batak seperti “Terjadinya Danau Toba di Samosir”. Sedangkan zaman sekarang yang diperlukan adalah perkembangan sumber daya manusia (pendidikan/keterampilan) berdasarkan moral religius dan etika. Oleh karena itu, dari segi agama maupun budaya kita bisa memilah mana yang bisa kita terima secara logika.

Glossary:
[1] Sipelebegu, orang kafir, pemuja nenek moyang, penyembah arwah

[2] Sumber mengatakan Raja itu bernama Raja Ama Natidar. Raja Ama Natidar mempunyai 2 orang putra yaitu: Raja Natidar dan Tuan Jabut serta seorang putri yang cantik rupawan yang bernama Si Boru Natumandi

[3] Huta, desa, kota; marhuta, berkediaman di kampung; marhuta sada, berjalan-jalan, tidak tinggal di kampung, keluar kota, bepergian; huta sabungan, ibu kota, kampung induk; parhutaan, pemukiman, perkampungan; pardihuta, bini, isteri, yang bertugas di desa, (lawan parbalian); tarhuta, diketahui orang didesa bahwa orang berutang banyak; marhutahuta, mainan anak-anak bangun kampung-kampungan; raja hutam sesepuh kampung; Huta Raja, Huta Talun, Huta Pea, nama desa, nama kampung. Sumber mengatakan kampung itu bernama Banjar Nahor. Tahun 1985 kampung itu berganti nama menjadi Banjar Nauli. Hanya ada 2 kampung pada masa itu yakni Hutabagasan dan Banjar Nahor

[4] Aek Situmandi. Nama sebuah sungai di daerah Hutabarat Kecamatan Tarutung Kabupaten Tapanuli Utara. Bentuk sungai sudah besar dan jalurnya sudah berubah.

[5] Pele kata dasar, mamele, umpele, menyajikan, mempersembahkan sajian, kurban kepada dewata atau roh; mamelehon, mempersembahkan sebagai kurban; pelean, persembahan, kurban sajian; mamele begu, memberi persembahan kepada nenek moyang, kepada roh-roh, menyembah roh; sipelebegu, orang kafir, pemuja nenek moyang, penyembah arwah. Dahulu Dolok Siatas Barita adalah tempat Penyembahan keturunan Guru Mangaloksa.

[6] Dolok Parsaktian.Dolok, gunung, pegunungan; dolokdolok, bukit, perbukitan; pardolok, penduduk gunung, juga: terletak di gunung; pardolohan, pegunungan.Di daerah Toba ada juga Dolok yang sama seperti Dolok Siatas Barita yang dijadikan masyarakat Balige dan sekitarnya menjadi tempat pamelean mereka yaitu Dolok Tolong

[7] Sopo, lumbung padi, di bawah atap disimpan padi, di ruang terbuka tempat menerima tamu serta tempat mengadakan pertemuan, di atas juga tidur para pemuda.

[8] Ulubalang. Kata dasar Ulu, kepala; ulu ni timbaho, ujung lempeng tembakau yang paling enak rasanya; ulu ni rihit, gosong, busung pasir; P.B.: madungdung bulu godang tu dangka ni bulu suraton, molo mardomu angka na bolon, adong do ulu buaton, bambu besar menyentuh bambu kecil, manakala orang-orang besar bertemu pasti akan ada korban; manguluhon, memimpin perkara; pangulu, penengah antara dua pihak; pangulului, telah melihat setengah jalan (matahari); na pangului, jam 09.00 pagi; ulubalang, hulubalang, pendekar; ulubalang ari = hasiangan on;pangulubalang, patung kecil yang dipuja yang dimasukkan sedikit pupuk; hauluan = haulian = ulu, hauluan, tanda”i” dalam tulisan Batak: juga haulian; paulubalanghon, disewa sebagai hulubalang[1] Sinamot. Mas Kawin[1] Ampang, bakul yang dianyam di bawah, berbentuk empat segi dan di atas bundar, juga dipakai sebagai takaran beras atau padi; parampangan, bakul besar dimana di dalamnya disimpan bakul-bakul kecil; na marampang na marjual, = na marpatik na maruhum, seseorang yang memakai takaran dengan baik



Raja na Burju dohot Ama ni Holit Mangging
Dian Sidauruk, Kuta – Bali, 13 Sept 2008
copied by :samson hutabarat

Illustrasi ini berhubungan dengan Amani Holit Mangging (yang rakus)

Mangihuthon turi-turian, di nagori Batarasiang adong do sahalak raja naburju jala parlambas roha. Malo jala mura mengkel suping. Ganteng jala namora jong. Tanona do sude luat Batarasiang. Puhut jala gogo mangula arian borngin. Las do rohani sude jolma mida raja on. Dua ma niolini raja on. Sangaja do dioli raja i dua, ai sada tohonan do i di ibana – asa pas dua- ima ra nanidokni tohonan i. Alai na sabulan naung salpu matema sada niolina i. Humasilsal ma sude soridaluni harajaon i mangalului sada nari. Ise naolo pasurathon dirina? Ketik reg spasi batarasiang spasi goar. Pahatop be ma, bulan na ro pamilihan, unang tarlambat da! Ise natarpillit pintor diboan do maredang-edang tu porlak eden!
Di luat na asing na jonok tu Batarasiang adongma sada baoa na pogos, apala pogos situtu. Mulai tubu ibana ndang hea do pe ditatap na tama, holan na paet do torus. Porsuk situtu do parsorion na. Roa muse. Pardompakanna songon haluan ni kapal tempur. Holsona songon soarani api marjembur-jembur pasiltak-siltak langit. Andung-andungna songon alogo tonga borngin mallongos mangombus bulung bulung. Alai memang namalas do bao i. Holan namangan do tahina, apalagi molo adong saksang, saksang naung bari-bari manang saksang daur ulang pe taho asalma saksang. “Amang, dangolna i sitaononhon. Lebih enak makan sate daripada makan kue bolu. Tumagon do ahu mate daripada mangolu. Sapotni nipinghon” Ima andung-andungna arian nang bodari.

Di na sahali hundul-hundul ma baoa i di bonani unte pangir, huhut marende “Bulan i bulan i, pardomuanni simalolong da inang. Boha bahenon bagian i ingkon taonon”. Di namarende i ibana taringot ma ibana tu turi-turianni donganna sapartinaonan na mandok adong sada raja naburju jala olo mangurupi manang ise pe taho. Las rohana mambege barita i. “Ingkon laho do ahu manopot jala manomba raja i jala mangido tano, jala ingkon tangis tarilu-ilu mangandung bolon do ahu di si asa dilehon tano di ahu, molo boi tano na bolak situtu, lengkap dohot hoda dohot suan-suanan, misalna pohon beringin yang rindang”. Ninna rohana sambil maniulhon lagu siterang bulan.

Laho ma ibana. Neang-neang langkana ala lasni rohana.

“Horas rajanami. Horas tondi madingin pir tondi matogu dihamu raja nami. Tolong hamu jo ahu jolma nahansip, jolma abal-abal jolma odong-odong na tordang di talaga. Napogos situtu do ahu amang raja nami. Ndang marhepeng, ndang martano, ndang marjabu. Apala napahansithon sidangolonhu, sampe saonari ndang adong dope pardijabunghu nanggo apala sahalak pe nian as alas roha, eh…maksudhu raja nami asa las roha dohot daging. Alani hapogoson ma ra on raja nami asa ndang adong borua na olo tu ahu. Huhut ni i raja nami molo tung adongpe naolo aha bahenhu panganon na? Naboido duhut-duhut i lehonon bonduton na? Hansit situtu do ahu rajanami. Ngalian torus. Sombanghu raja nami, asi roham, oloima pangidoanhu”. Ninna ibana huhut diapusi iluna.

“Bege asa hudok. Molo so hudok ndang di botoho, ai so pargorsi ho. Maringkat ma ho. Lioti ma tano on. Nasa tolap ni gogom mangalioti tano on, nasa ima lehononhu tu ho. Dung dilitoti ho nasa gogom mulak ma ho tuson paboahon sadia tolapmu, da, asa pintor hutengken suratni tanomi”. Ninna raja i sambil berlalu mengkel suping.

Maringkat ma ibana sagogo-gogona. Asa tamba bolak tano dapotna, tamba gogoma ibana maringkat. Ndang parduli ibana molo adongpe andor hadungka sangkot tu patna. So ditilli ibana sugani ramba-ramba i. Ri, tolong, sanggar, beang-beang, sijungkot, simarderuma, sanduduk, salagundi dohot bonani sotul pe dos do dibahen ibana didolos ganup. “Asa mamora situtu ahu, asa mamora jong ahu. Dung mamora ahu tuhoronhu ma kapal laut pesiar. Minum-minum koka kola dohot minum panta ma ahu di si hohot dongan marlasni roha huhut mangkail dohot marleng.” Songon ima lasni rohana huhut marlojong hatop songon haba-haba marimpot-impot songon lali habang.

“Raja nami, nunga dao hulojongi. Nunga dao rajanami, mansai bolak hulioti rajanami….rajanami…..rajanami…”

Nanget jala sesep, melankonlis. Hosana manjolhoi songon namarhosa di bagas buntak, sada-sada gotap-gotap. Unjom, tos. Mate!

Sian na dao tarbegema angka pidong marende tarsongon namangandung:

“Ingkon do malangke daging dohot sibuk i”.

Di hau silang nasantipul i tarsurat:

“Amani Holit Mangging, tubu tingki haleon, mangolu di ari udan, monding di ari logo


Surat tu Dainang

Surat ini kudapatkan dari Bang Togi Sianipar
copied By; samson hutabarat

Oleh : Amani Harapan MArbun,

Sumber : Terjemahan bebas dari buku Cermin Kaca Retak, karangan Bung

Laris Naibaho

Jakarta, 16 July 2008

Tumopothon, na huparsangapi jala na huhaholongi, dainang pangintubu

di huta

Horas ma inang nauli basa,

Hipas do hami dison, au borum dohot helam, songonima nang pahompum na tolu i, si alex, si si Bram nang si Tikkos, hipas-hipas do hami dison, suang songoni ma nian ho pe inang nabasa, nauli lagu, sai anggiat ma dibagasan pangaramotion na sian Tuhanta pardenggan basa i, na mangalehon akka hahipason dohot ganjang ni umur di ho inang nauli lagu.
Inang Naburju,

Nunga tung masihol hian hami tu ho, inang, ai takkas do diboto ho, nunga lima taon hami dang ro mandulo ho tu huta, jala pahompum pe nunga masihol marnida oppungna, toho do i inang. Alai alani akka kesibukan, nang aani parsiajaran ni akka pahompum on, dang boi dope hami mulak mandulo ho inang. Mardomu muse, helam pe na baru diangkat pe gabe pejabat di kantor pajak di jakarta, jadi tung mansai sibuk situtu do hami nuaeng.

Inang Nauli basa,

Ia pahompum si alex, ima pahompu siangkangan i, nunga be masuk kuliah ibana di Pelita Harapan, jala las do roha marnida, ai di haburjuhon ala dihagiothon do namarsiajar i. Molo binereng sian sitta-sittana, ikkon mambuat S-3 manang doktor do ninna di Australia ibana, las roha tutu inong, jala ho pe inong, las ma roham mambege i, ai gabe jolma na hasea do hape annon pinompar mon. Angkup ni i, mulai saonari nunga be hudepositohon hami tu bank hepeng nami, asa dung tammat ibana lima taon nai sian Jakarta on, adong modal pasikkolahon tu laur negeri.

Inong,

songoni do nang pahompum sipetonga, ala dang olo talu ibana tu abangna, ikkon di Singapura do ibana ninna sikkola SMU, jala songon natua-tua na bartanggungjawab hami, huoloi hami do i. Alai, onma sada nai pangidoanna, nang pe kalas tolu SMP dope ibana, nunga dipangido ibana sada Mobil dalan-dalanna, ujungna di patulus helam do pangidoanna i, nunga dituhor sada mobil ima mobil Terrano sisaonari i, tole ma naroha, asalma burju sikkola.

Asing muse do pahompum siappudan on, dang olo be mamakke sedan BMW na hutohor hami na taon na lewat, didok ibana, diparekkeli donganna sasikkola do ibana ala dipakke sedan na leleng, jadi terpaksa ma hu cicil-cicil sada BMW nabaru sian showroom an, ipe asa songon na denggan huida bohina lao tu sikkola.

Inong,

ai diingot ho dope tahe, tikki ro ho tu Jakarta on? ima lima taon na salpu? tikki i hea hupatuduhon tanotta na di Cibubur i? ima tano na 2 hektar i?. Nunga dibangun helam be sada jabu disi, ninna molo matua muse asa adong ingan parlape-lpean, jala molo ro inong sian huta asa songon na tenang tinggal dijabu, ala takkas diboto ho inang, molo inagan nami sisaonari, ima huta Pondok Indah on, nunga tung mansai rame hian be. Jala minggu depan, naeng ro do martamue, atasan ni helam tu jabutta, ima Dirjen Pajak sisaonari. Jadi attusi inang ma ai ila do roha molo songon na so suman jabu manomu akka pejabat ni negara on. Jadi sude akka perabot na dijabu i nunga huganti pe dohot nabaru, jala kolam renang nadipudi ni jabutta i pe nunga hubaen jala hupabolak sampe tu opat meter nama bolakna. Jala hubaen do sopo-sopo di tonga ni taman nadipudi ni jabu i, ai dipangido pahoppun siampudan i, molo ro donganna asa tu si nasida marpungu.

Inang naburju,

Marsogot, arisan do dijabu, ima akka arisan ni istri ni pejabat. Jala asa unang maila au inang, borum nasasada on tu akka istri ni dongan ni helam, bah nunga hutuhor be berlian horung dohot sibong. Molo di ingot inong i, hea tabereng di Mall Pondok indah, songoni do inong sipata, asa unang maila iba.

Jala helam pe, ai sadalan do dohot tu umur, didok ibana, dang soksok be ibana mamakke Mobil si saonari, ajdi nadi bulan na salpu i, diganti ibana do mobil na i gabe merci keluar terbaru. jala ala sude do hami luhut nunga marmobil, ikkon pabolaok nami nama garasi ni jabutta i, asa muat sude. Jala tamba ma poembantu dohot tukan taman saonari dijabutta on.

Inong na lagu,

songoni ma jo kabar sian hami borum dohot helam, ala tung mansai godang do pengeluaran nami di bulan on, bah marpanganju ma ho inang, DANG TARBAHEN HAMI DOPE MANGIRIM BALANJOM bulan on, ai sian pensiun ni Bapa i ma jo pakke. Hurasa sukkup dope di inang i, so pola sadia be akka kebutuhanmu di huta. Jadi sotung unang pola boha roham inong, ala so boi hami mangirim tu ho bulan on, na lagi menipis do keuangan nami, hape Depsito jala bungana na adong di bank pe dang tarbuat dope bulan on.

Sai Tuhanta ma namandongani hita ganup ulaonta, amen

Borumu,

NaiHolitMangging nyonya SIpanggaron

NB:

Adong hape na lupa inang

-Dang di Jakarta hami dua minggu na ro on, alana naeng lao hami marlibur, mardalani tu Bangkok dohot tu Sanghai, China. Tangianghon hami inong, asa hipas-hipas mulak tu Jakarta.


Posted in Aku Orang Batak, Cerita. Tags: Amani Harapan MArbun, bangkok, Bung Laris Naibaho, Cermin Kaca Retak, holit mangging, jakarta, sipanggaron.


Mengenang Senyuman
July 3, 2008 — riyanthi
copied By :samson hutabrat

Nasa jolma ingkon mate
Ingkon mago sibuk i
Na mangolu ingkon mate
Asa tung denggan muse
Daging on do gabe bangke
Jala ingkon do malangke
Asa sogot bangkit i
Tu hasangaponna i

Buku Ende. 334

Sungguh berita yang mengejutkan, hari Selasa (2008.07.03) malam yang lalu, dua orang staf Politeknik Informatika Del, meninggal dunia. Maut menjemput Pak Situmeang dan bang Ramlan dalam sebuah kecelakaan.

Seberapa penting mereka, sampai harus di blog ini?
Pak Situmeang, satpam di Politeknik Informatika Del. Banyak satpam di sana, tapi Pak Situmeang lah yang favorit. Senyumnya, pembawaannya yang tidak garang, dan hampir-hampir tak pernah marah. Aku baru dapat kabar baru dari Bapakku (yang ternyata tadi siang pergi melayat ke Sipoholon), Pak Situmeang yang masih berumur 45 tahun, meninggalkan seorang istri dan 5 orang anak.

Bang Ramlan, staf di ruang photocopy. Walaupun banyak yang mendesak, pengen cepat-cepat, staf yang satu ini tak pernah marah. Malah kita jadi kerasan di ruang photocopy, sambil bercanda atau cela-celaan dengan Bang Ramlan. Tak hanya di ruang photocopy, di mana pun Bang Ramlan selalu ramah.

Tak terlukiskan kesedihannya.

Selamat jalan Pak Situmeang.


Si Horas Martandang
May 22, 2008 — riyanthi
copied By : samso hutabarat

Si Horas adalah pemuda yang sangat pemalu.Suatu hari dia mengajak sahabat dekatnya martandang ke rumah seorang gadis yang sedang disukainya.
“Jabingar, malam ini temanilah aku menemui si Purnama yang sering kuceritakan itu,” bujuk si Horas. “Aku mau menyampaikan kalau aku sangat mencintai dia dan ingin menjadi pacarnya.”

“Horas, bukankah lebih baik suasananya kalau hanya ada kamu dan dia pada saat-saat seperti itu,” kata si Jabingar mencoba menolak.

“Tidak. Sebaiknya kamu ikut dulu. Setelah beberapa saat aku akan beri kode supaya kamu pergi duluan. Lalu aku akan sampaikan kepadanya saat kami berdua,” kata si Horas.

“Baiklah kalau begitu,” kata si Jabingar.

Setelah tiba di rumah si gadis, si Horas memulai pembicaraan dengan menanyakan kabar gadis pujaannya dan memperkenalkan sahabatnya tadi.

“Ito Purnama, kenalkan ini sahabatku,” kata si Horas kepada si Purnama sambil menoleh kepada si Jabingar.

“Horas ito. Jabingar.”

“Horas ito. Purnama.”

Setelah saling menanyakan asal dan silsilah kelurga masing-masing ternyata Jabingar dan si Purnama masih ada pertalian saudara. Si Jabingar ternyata adalah keponakan dari sepupu namborunya Purnama.

“Ternyata kita marpariban ya?” kata si Jabingar kepada si Purnama yang membuat suasana menjadi semakin akrab. Si Horas pun ikut merasa senang. Tanpa disadari perbincangan antara Si Jabingar dan si Purnama tentang keluarga masing-masing ternyata sudah berjam-jam hingga si Horas melirik jam tangannya. Si Jabingar yang mengetahui sinyal yang diberikan oleh si Horas melihat ke arah Purnama dan berkata.

“Ito aku mau ke warung di depan sebentar saja. Rokokku sudah habis.” kata si Jabingar kepada Purnama sambil melihat ke si Horas.

“Eh tunggu dulu Jabingar. Sebaiknya kamu di sini dulu. Ada yang penting sekali ingin kusampaikan kepada ito Purnama,” kata si Horas sambil menahan si Jabingar yang sudah hendak beranjak.

Si Jabingar mulai bingung. Karena ini di luar skenario yang mereka sepakati sebelumnya. Setelah terdiam beberapa saat, si Jabingar bergantian memandangi Purnama dan si Horas temannya yang tampaknya agak sedikit grogi.

“Tapi sebaiknya aku beli rokok dulu sebentar. Kau tahu, rokokku sudah habis sejak tadi.” kata si Jabingar masih ingat bahwa si Horas ingin menyampaikan isi hatinya kepada si Purnama. Dan tidak seharusnya dia berada di sana saat-saat seperti itu.

“Jangan. Nanti saja. Sekarang aku mau kamu ada di sini.” kata si Horas memohon sambil meremas-remas kedua tangannya yang sepertinya kedinginan.

“Okelah. Kalau begitu sampaikanlah kepada ito Purnama apa yang mau kamu sampaikan…” kata Jabingar mengalah dan duduk kembali.

Si Horas hanya terdiam untuk beberapa saat. Sesekali dia melihat ke si Jabingar yang setiap kali memberi tanda kepada si Horas agar segera menyampaikan maksudnya.

“Sampaikanlah Horas,” kata si Jabingar mencoba memberi semangat kepada si Horas.

“Aku sampaikan saja sekarang ya?” kata si Horas kepada si Jabingar seperti mendapat kekuatan baru.

Mendengar itu lalu si Horas menoleh kepada si Purnama.

“Baiklah ito. Errrr………Maksudku….errrrr……..kami permisi dulu mau pulang ya……… Hari sudah larut malam…” kata si Horas kepada si Purnama.

*Martandang (bahasa batak) = berkunjung

Posted in Aku Orang Batak, Cerita. Tags: Batak

No comments:

Post a Comment

komentar anda